PEMBAHASAN TENTANG ISLAM


Islam bukakan agama yang penuh hukum2 atau ketentuan2 memberatkan manusia .
Seorang muslim tidak diperbolehkan hukum islam itu sangat berat. Karna rasa keberatan itu dari orang itu sendiri, rasa keberatan itu akan hilang apa bila kita ihlas dan istikomah dalam menjalankannya.

Sabtu, 08 Mei 2010


Seiring perkembangan zaman di segala bidang, kebutuhan manusia semakin tak terkendalikan. Kebutuhan yang zaman dahulu bersifat sekunder, sekarang seakan menjadi kebutuhan primer. Taruhlah contoh kebutuhan manusia akan sepeda motor sebagai alat transportasi, HP sebagai alat komunikasi dan seterusnya. Hal ini menuntut manusia untuk lebih ekstra dalam memenuhi kebutuhan materinya. Sehingga terkadang orang lepas control, tak peduli apakah usaha itu mendapat legalitas dari Syara' ataukah tidak, yang penting keuntungan dapat diraup.

"وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا"

"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"

A. Pengertian Jual beli dan Riba

Jual beli menurut bahasa artinya adalah tukar menukar barang. Sedangkan menurut istilah ulama' fiqh, secara garis besar jual beli adalah transaksi yang mengandung unsur tukar menukar harta dengan harta yang lain untuk tujuan pindah kepemilikan.

Adapun Riba menurut bahasa artinya adalah tambahan. Sedangkan menurut istilah fiqh madzhab Syafi'i, riba adalah akad pertukaran barang ribawi yang tidak sama timbangannya dalam ukuran syara' atau sama namun ada penundaan serah terima barang.[5] Menurut Muhammad Ali As Shobuni, Riba adalah tambahan yang diambil oleh orang yang menghutangi dari orang yang berhutang sebagai ganti dari waktu.[6] Ibnu Arabi berpendapat bahwa, yang dimaksud dengan riba yang ada di dalam Al Quran adalah setiap tambahan yang tidak ada imbalannya.

B. Hukum Jual beli dan Riba

Jual beli hukumnya halal berdasarkan Alquran, Hadis dan Ijma' para Ulama'. Alasan kehalalan jual beli adalah kebutuhan manusia. Artinya seseorang belum tentu memiliki setiap sesuatu yang dibutuhkan. Maka untuk pemindahan kepemilikan tersebut, Syara' melegalkan jual beli yang di sana antara penjual dan pembeli saling ridho dengan syarat tidak ada penghianatan ataupun penipuan, walaupun si penjual mendapatkan keuntungan yang banyak. fiman allah;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu".

Adapun dalil dari Hadis antara lain :

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُور

"Rasulullah SAW ditanya oleh shahabat, "wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab: "ketrampilan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang tidak ada penipuan dan penghianatan didalamnya".

Adapun riba hukumnya adalah haram berdasarkan Alquran, Hadis dan Ijma'. Alasan yang mendasar atas keharaman riba adalah adanya nash yang jelas (shorih) dari Alquran dan Hadits. Para Ulama' menganalisa unsur - unsur keharamannya, di antaranya:

1. Didalam riba terdapat unsur pengambilan harta orang lain tanpa ada imbalan. Alasan ini tidak dapat ditentang dengan pernyataan bahwa uang yang dihutang dalam masa pelunasan itu bisa berkembang dan bertambah, sehingga hal itu bisa dijadikan sebagai imbalan. Pernyataan ini salah, karena bertambahnya uang tersebut adalah perkara yang tidak bisa dipastikan terjadi (mauhum), sedangkan tambahan ditetapkan dalam riba adalah perkara yang sudah pasti terjadi (muhaqqoq). Padahal menghilangkan perkara yang sudah pasti terjadi untuk memperoleh hal yang belum dipastikan hukumnya tidak boleh karena mengandung kemadharatan .[12] 2. Kebanyakan orang yang menghutangi adalah orang yang kaya dan orang yang berhutang adalah orang yang miskin. Padahal orang kaya dilarang mengambil harta orang miskin yang lemah.[13] 3. Riba adalah penyakit kemasyarakatan yang menjadikan orang materialis, menghilangkan kasih sayang antara sesama dan bisa memutus tali persaudaraan.

Dalil dari Alquran yang menerangkan keharamannya, antara lain :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba".

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan".

Sedangkan Dalil yang bersumber dari Hadis antara lain :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَأَكْلُ الرِّبَا وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ

Rasulullah bersabda: "jahuilah tujuh perkara yang melebur pahala amal, yaitu menyekutukan Allah dengan lainnya, sihir, membunuh nyawa yang dimulyakan Allah tanpa jalur yang benar, memakan harta anak yatim, makan riba, lari dari medan perang dan menuduh wanita baik - baik telah berzina".

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

"Shahabat Jabir RA meriwayatkan bahwa, Rasulullah malaknat orang yang makan riba, orang yang memberi riba, orang yang mencatatnya, dan orang yang menjadi saksinya. Semuanya mendapatkan dosa yang sama".

C. Perbedaan Jual beli dan Riba.

Imam ar Rozi menjelaskan bahwa, orang -orang kafir pada zaman dahulu menghalalkan riba karena menurut mereka riba itu sama dengan jual beli yang hukumnya halal. Kesamaan tersebut mereka gambarkan dalam beberapa hal:

1. Ketika ada orang yang membeli pakaian dengan harga Rp.50.000,- misalnya, kemudian dijual kepada orang dengan harga Rp.80.000.- dengan dihutang maka hukumnya halal .Sehingga semestinya ketika orang berhutang Rp.50.000.- selama satu tahun dan harus membayar dengan jumlah Rp.80.000.- juga halal karena keduanya tidak ada perbedaan . 2. Jual beli hukumnya halal karena ada saling ridha antara penjual dan pembeli, maka dalam hutang piutang ketika ada ridha dari kedu belah pihak walaupun ada bunganya semestinya juga halal 3. Jual beli disyariatkan karena untuk memenuhi kebutuhan [daf'ul hajat] .Dan terkadang manusia tidak memiliki harta dan sangat membutuhkannya dan mungkin dia bisa memperoleh uang dimasa yang akan datang .Dimana ketika riba diharamkan maka dia tidak akan memperoleh hutang dan hajat nya tidak terpenuhi . Sehingga hal ini menuntut untuk diperbolehkannya riba karena bisa memenuhi kebutuhan .

Argumen orang - orang kafir di atas merupakan penentangan mereka terhadap nash Alquran dengan qiyas dan hal ini termasuk pekerjaan iblis , karena Allah SWT ketika memerintahkan iblis untuk bersujud kepada Nabi Adam AS, maka iblis menentang perintah tersebut dengan qiyas seraya berkata [seperti yang disebutkan di dalam Alquran ]:"aku lebih baik dari Adam, karena Engkau ciptakan aku dari api dan Dia Engkau ciptakan dari tanah " .

Menurut Imam Qaffal diantara jual beli dan riba terdapat perbedaan yang sangat mencolok . Hal ini karena ketika seseorang membeli pakaian dengan harga Rp.50.000,- lalu dijual dengan harga Rp.80.000,- dengan dikredit, maka dia telah menjadikan pakaian sebagai ganti dari uang Rp.80.000,-, sehingga ketika kedua belah pihak saling ridha maka hukumnya diperbolehkan , dan tidak bisa dikatakan bahwa penjual pakaian telah mengambil bunga tanpa imbalan. Lain halnya dalam masalah riba, sebab ketika seseorang menghutangi uang Rp. 50.000,- selama satu tahun dengan mensyaratkan pembayaran sebesar Rp. 80.000,- maka dia telah mengambil bunga tanpa adanya imbalan. Dan penundaan waktu pembayaran [ imhal ] tidak bisa disebut sebagai imbalan dari bunga tersebut, karena penundaan waktu pembayaran bukanlah harta atau barang yang bisa dijadikan sebagai imbalan.

Muhammad Ali As Shabuni membedakan, bahwa jual beli adalah tukar menukar barang atau manfaat yang dihalalkan oleh Allah SWT . Sedangkan riba adalah bunga yang diambil dari kerja keras orang yang berhutang dan diharamkan oleh Allah SWT.

D. Bunga Bank

Berbicara tentang riba tidak bisa terlepas dari bank. Kalau kita telaah, menabung di Bank dipandang dari kacamata syara' tidak bisa dikatakan penitipan [wadi'ah]. Sebab wadi'ah adalah akad yang mengandung unsur permintaan untuk menjaga barang[20]. Pengertian ini sangat berbeda dengan praktek yang ada pada bank. Orang yang menitipkan uang di bank maka dia akan memperoleh bunga setiap bulan. Maka dari itu, praktek pembungaan uang ini lebih tepat dinamakan riba. Demikian pula ketika seseorang meminjam uang di bank maka bisa dinamakan riba[21], sebab peminjam harus memberikan bunga pada saat pembayaran .

Bahkan bunga uang atas pinjaman yang berlaku di bank lebih buruk dari riba yang berlaku pada zaman jahiliyah, karena riba pada zaman jahiliyah hanya dikenakan pada saat si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman pada saat jatuh tempo. Sedangkan bunga yang ada di bank ditetapkan sejak terjadinya transaksi.

Disisi lain, ketika seseorang menabung atau meminjam uang di bank berarti dia juga ikut membantu pertumbuhan dan perkembangan bank. Padahal Allah SWT telah melarang manusia untuk tolong - menolong dalam maksiat.

Allah SWT berfirman dalam surat Al -Maidah ayat 2:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya".

Dengan demikian jelas sudah hukum yang ada pada bunga bank. Akan tetapi, manusia modern seakan tidak bisa lagi meninggalkannya. Meskipun demikian, keharaman ini tetap tidak bisa dihilangkan, kecuali dalam keadaan darurat maka diperbolehkan untuk menabung uang di bank. Hal ini sesuai dengan kaidah : "الضرورات تبيح المحظورات" Artinya, keadaan darurat bisa menjadikan boleh perkara yang dilarang.

Demikian pula ketika ada hajat yang mendesak, maka diperbolehkan untuk menabung di bank. Sebab terkadang hajat bisa ditempatkan sebagai dlarurat.[23] Hajat ini contohnya adalah menitipkan uang di bank dengan tujuan untuk menjaganya agar aman dan tidak ada tempat lain yang aman kecuali bank dan tidak ada bank yang sesuai syariat Islam. Namun, penabungan uang harus disesuaikan dengan kadar kebutuhan[24]. Hal ini sesuai dengan kaidah : الضرورات تقدر بقدرها (keadaan darurat hanya memperbolehkan sebatas kadarnya) dan kaidah : ما جاز بعذر بطل بزواله (sesuatu yang diperbolehkan sebab ada udzur, maka hukumnya kembali lagi ketika udzurya sudang hilang).

E. Hukum Mengambil Bunga Bank

Ketika seseorang diperbolehkan menabung di bank karena ada hajat atau darurat, semestinya ia tidak diperbolehkan mengambil bunganya, karena bunga bank termasuk riba yang sangat diharamkan. Namun disisi lain, apabila bunga tersebut ditinggalkan, maka bunga tersebut akan dimanfaatkan oleh bank. Hal ini akan membantu pertumbuhan bank yang menerapkan riba. Namun bunga tersebut tidak boleh dimanfaatkan untuk diri sendiri, baik untuk dimakan, membayar hutang, zakat atau sekedar untuk bersenang - senang, melainkan bunga tersebut untuk diserahkan kepada fakir miskin .

Hal ini bukan berarti fakir miskin diperbolehkan makan barang haram. Sebab uang haram seperti halnya bunga bank tidak ada yang memiliki. Sebagaimana kita ketahui, barang yang tidak ada pemiliknya harus diserahkan kepada baitul mal. Bila baitul mal tidak ada, maka harus digunakan untuk kemaslahatan umat, yang salah satunya adalah disedekahkan kepada fakir miskin.[26] Dengan demikian, bunga bank yang telah diberikan kepada fakir miskin bukanlah uang yang statusnya haram, melainkan sudah menjadi harta yang halal.

والله اعلم بالصواب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar